Jumat, 30 April 2010

ijma

DEFINISI IJMA’
Ijma’ menurut istilah para ahli ushul fiqih adalah : Kesepakatan seluruh para mujtahid dikalangan ummat islam pada suatu masa setelah Rasulullah saw wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian.
Apabila terjadi suatu kejadian yang dihadapkan kepada semua mujtahid dari ummat Islam pada waktu kejadian itu terjadi, dan mereka sepakat atas hukum mengenainya dianggap sebagai dalil, bahwasannya hukum tersebut merupakan hukum syara’ mengenai kejadian itu.
Dalam definisi itu hanyalah disebutkan sesudah wafat Rasulullah saw,karena pada masa Rasulullah, beliau merupakan rujukan pembentukan hukum Islam satu-satunya, sehingga tidak terbayangkan adanya perbedaan dalam hukum syar’i, dan tidak pula terbayangkan adanya kesepakatan, karena kesepakatan tidak akan terwujud kecuali dari beberapa orang.
RUKUN IJMA’
Dalam definisi ijma’ telah disebutkan bahwa ia adalah : kesepakatan para mujtahid dari ummat Islam pada suatu masa atas hokum syar’i. Dari definisi ini dapat diambil kesimpulan bahwa rukun ijma’, dimana menurut syara’ ia tidak akan terjadi kecuali dengan keberadaannya, adalah empat, yaitu :
Pertama: Adanya sejumlah para mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa. Karena sesungguhnya kesepakatan tidak mungkin dapat tergambar kecuali pada sejumlah pendapat, dimasing-masing pendapat sesuai sesuai dengan pendapat lainnya. Maka kalau sekiranya pada suatu waktu tidak ditemukan seorang mujtahid sama sekali, atau hanya ditemukan seorang mujtahid, maka secara syara’ tidak akan teerjadi ijma’ pada waktu itu. Oleh karena ini lah, maka tidak ada ijma’ pada masa Rasulullah saw, karena hanya beliau sendirilah mujtahid pada waktu itu.
Kedua : Adanya kesepakatan seluruh mujtahid dikalangan ummat Islam terhadap hukum syara’ mengenai suatu kasus / peristiwa pada waktu terjadinya tanpa memandang negeri mereka, kebangsaan mereka, ataupun kelompok mereka. Maka kalau seandainya para mujtahid negeri Makkah dan Madinah saja,atau para mujtahid asli sunnah, bukan mujtahid golongan Syi’ah sepakat atas hukum syara’ mengenai suatu peristiwa, maka dengan kesepakatan khusus ini tidaklah sah ijma’ menurut syara’. Karena ijma’ itu tidak bisa terjadi kecuali dengan kesepakatan umum dari semua mujtahid dunia Islam pada masa suatu kejadian. Selain mujtahid tidak masuk penilaian.
Ketiga : Bahwasannya kesepakatan mereka adalah dengan mengemukakan pendapat masing-masing orang dari para mujtahid itu tentang pendapatnya yang jelas mengenai suatu peristiwa, baik penyampain pendapat masing-masing mujtahid itu berbentuk ucapan, misalnya ia memberikan fatwa mengenai peristiwa itu, atau berbentuk perbuatan, misalnya ia memberikan suatu putusan mengenainya : baik masing-masing dari mereka mengemukakan pendapatnya sendiri-sendiri dan setelah pendapat-pendapat itu dikumpulkan barulah ternyata kesepakatan pendapat mereka, atau mereka mengemukakan pendapat mereka secara kolektif, misalnya para mujtahid di dunia Islam mengadakan suatu konggres pada suatu masa terjadinya suatu peristiwa, dan peristiwa itu dihadapkan kepada mereka, dan setelah mereka bertukar orientasi pandangan, maka mereka seluruhnya sepakat atas satu hukum mengenainya.
Keempat : Bahwa kesepakatan dari seluruh mujtahid atas suatu hukum itu terealisir. Kalau sekiranya kebanyakan dari mereka sepakat, maka kesepakatan yang terbanyak itu tidak menjadi ijma’ , kendatipun amay sedikit jumlah mujtahid yang menentang dan besar sekali jumlah mujtahid yang sepakat, karena sepanjang masih dijumpai suatu perbedaan pendapat, maka masih ditemukan kemungkinan benar pada salah satu pihak dan kekeliruan pada pihak lainnya. Oleh karena itu, maka kesepakatan jumlah terbanyak tidak menjadi hujjah syar’iyyah yang pasti dan mengikat.


MACAM-MACAM IJMA’
Adapun ijma’ ditinjau dari segi cara menghasilkan, maka ia ada dua macam , yaitu :
Pertama : ijma’ sharih, yaitu : Kesepakatan para mujtahid suatu masa atas hukum suatu kasus, dengan cara masing-masing dari mereka mengemukakan pendapatnya secara jelas melalui fatwa atau putusan hukum. Maksudnya bahwasanya setiap mujtahid mengeluarkan pernyataan atau tindakan yang mengungkapkan pendapatnya secara jelas.
Kedua : ijma’ sukuti, yaitu: sebagian dari mujtahid suatu masa mengemukakan pendapat mereka dengan jelas mengenai suatu kasus, baik melalui fatwa,atau suatu putusan hukum, dan sisa dari mereka tidak memberikan tanggapan terhadap pendapat tersebut, baik merupakan persetujuan terhadap pendapat yang telah dikemukakan atau menentang pendapat itu.

Adapun ijma’ ditinjau dari segi bahwa ia mempunyai dalalah qath’I terhadap hukumnya atau dalalah zhanni, maka ijma’ juga ada dua macam, yaitu :
Pertama : Ijma’ yang qath’I dalalah terhadap hukumnya. Inilah ijma’ sharih, maksudnya bahwasannya hukumnya dipastikan dan tidak ada jalan utuk memutuskan hukum yang berlainan dengannya dalam kasusnya itu, dan tidak ada peluang untuk ijtihad dalam suatu kasus setelah terjadinya ijma’ yang sharih atas hukum syara’ mengenai kasus itu.
Kedua : Ijma’ yang zhanni dalalah atas hukumnya., yaitu ijma’ sukuti, dalam arti bahwasanya hukum diduga kuat, dan ijma’ ini tidak mengeluarkan kasus tersebut dari kedudukannya sebagai objek bagi ijtihad, karena ia merupakan ungkapan dari pendapat sekelompok mujtahid, bukan keseluruhan mereka.

KEDUDUKAN IJMA’
Apabila rukun ijma’ yang empat itu telah terpenuhi, misalnya dengan diadakan perhitungan pada suatu masa di antara masa-masa sesudah Rasulullah saw wafat terhadap. Terhadap semua mujtahid ummat islam menurut perbedaan negerinya, kebangsaannya, dan kelompoknya, kemudian kepada mereka dihadapkan suatu kejadian untuk diketahui syar’inya dan masing-masing mujtahid itu mengemukakan pendapatnya mengenai hukumnya melalui perkataan atau perbuatan, baik secara kolektif ataupun secara individual, kemudian mereka semua sepakat atas satu hukum mengenai peristiwa ini, maka hokum yang di sepakati ini adalah suatu undang-undang syar’I yang wajib diikuti dan tidak boleh ditentang. Selanjutnya para mujtahid pada mas berikutnya tidak boleh menjadikan peristiwa ini sebagai objek ijtihad, karena hukum yang telah ditetapkan mengenai kejadian itu berdasarkan ijma’ ini merupakan suatu hukum syara’ yang qath’i, yang tidak ada peluang untuk menentangnya maupun untuk menghapuskannya.
Dalil atas kehujjahan ijma’adalah sebagai berikut:
Pertama:
Sebagaimana dalam al-Qur’an Allah telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk mentaati-Nya dan mentaati Rasul-Nya, Allah SWT, Juga memerintahkan mereka mentaati ulil amri diantara mereka. Allah SWT berfirman :



Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu….”.(Q.S. 4/ An-Nisa’ : 59)
Lafazh ‘Al-Amr” berarti : urusan, dan ia adalah umum, yang meliputi urusan keagamaan dan urusan duniawi. Ulil amri duniawi adalah para raja, para amir, dan penguasa, sedangkan ulil amri keagamaan adalah para mujtahid dan ahli fatwa.
Sebagai mufassir, terutama ibnu ‘Abaas, menafsirkan kata “ulil amri” dalm ayat ini dengan ulama. Sebagaian ulama lainnya menafsirkannya dengan para para amir dan penguasa.
Yang jelas, tafsirnya adalah meliputi kewajiban mentaati kepada setiap kelompok tersebut sesuai dengan bidangnya.
Apabila ulil amri dalam bidang hokum syari’at Islam, yaitu para mujtahid sepakat atas hukum, makawajib diikuti dan dilaksanakan hokum mereka berdasrkan nash Al-Qur’an. Oleh karena inilah, maka Allah SWT berfirman :


Artinya :
“Dan kalau mereka menyerahkannya kepa Rasul dan ulil amri (tokoh-tokoh sahabat dan para cendikiawan ) diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahui dari mereka(Rasul dan ulil amri)….”.
(Q.S. 4/ An-Nisa’ : 83).
Dan Allah telah mengancam orang-orang yang menentang Rasul saw. Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin dalam firman-Nya:




Artinya:
“Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang beriman, kami akan biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu da kami masukkan ia ke dalam neraka jahannam, dan neraka jahannam adalah tempat seburuk-buruk tempat kembali”.
(Q.S. 4/ An-Nisa’ : 115).

Allah menetapkan orang-orang yang menentang jalan orang-orang mukmin sebagai kawan orang yang menentang Rasulullah saw.
Kedua :
Bahwasannya hukum yang disepakati oleh pendapat seluruh mujtahid ummat Islam pada hakekatnya adalah hukum ummat islam yang diwakili oleh para mujtahid mereka. Sejumlah hadits telah dating dari Rasulullah saw, juga sejumlah atsar dari sahabat, yang menunjukkanterhadap kemakshuman (terpeliharanya) ummat dari kesalahan. Diantaranya ialah sabda Rasulullah saw:
ﻟﻢﻴﻜﻦﺍﷲﻠﻴﺠﻤﻊﺍﻤﺗﻰﻋﻠﻰﺍﻟﺿﻼﻟﺔ

Artinya :
“Allah tidak akan menghimpun ummatku atas kesalahan”.

Juga sabda beliau :
ﻻﺘﺠﺗﻤﻊﺍﻣﺘﻰﻋﻟﻰﺧﻂﺎﺀ

Artinya :
“Umatku tidakk berkumpul atas kesalahan”
Ketiga :
Bahwasannya ijma’ atas suatu hukum syar’i haruslah didasarkan atas sandaran yang syar’i, karena sesungguhnya seorang mujtahid islam mempunya batasan-batasan yang tidak boleh dilanggarnya. Apabila dalam ijtihadnya tidak terdapat nash dan pengetahuan yang menunjukkan atasnya. Apabila dalam suatu kejadian terdapat nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas pengambilan dengan lantaran qiyas terhadap sesuatu yang ada nashnya atau menerapkan kaida-kaidah syar’i dan prinsip-prinsip umumnya,atau dengan menggunakan dalil dari dalil-dalil yang telah ditetapkan oleh syari’at, seperti istihsan, istishab, atau dengan urf, atau dengan mashalih mursalah.
Apabila ijtihad seorang mujtahid harus bersandar kepada dalil syar’i, maka kesepakatan seluruh mujtahi atas satu hukum mengenai suatu peristiwa merupakan dalil adanya sandaran syar’i yang menunjukan secara pasti terhadap hukum ini, karena kalau sekiranya sesyatu yang mereka jadikan sandaran itu merupakan dalil zhanni, niscaya menurut kebiasan mustahil timbul kepakatan, karena dalil zhanni adalah lapangan bagi perbedaan pendapat akal secara pasti.
Sebagai mana ijma’ atas suatu hukum mengenai suatu kejadian berdasarkan pentakwilan nash atau penafsirannya, juga ia dapat didasarkan atas illat hukum suatu nash serta menjelaskan sifat yang berhubungan dengannya.

CONTOH-CONTOH IJMA’
 Hak menerima waris dari kakek bersama-sama dengan anak, apabila seseorang meninggal dunia dan menginggalkan ahli waris (yakni) anak dan kakek. Kakek ketika tidak ada bapak dapat menggantikan posisinya dalam penerimaan warisan, sehingga bisa menerima warisan seperenam harta, sebagaimana yang diperoleh bapak,meski terdapat anak dari orang yang meninggal.
 Saudara-saudara seibu-sebapak, baik laki-laki maupun perempuan terhalang dari menerima warisan oleh bapak. Hal ini ditetapkan dari ijma’ sahabat.
 Wajib memilih khalifah dengan tenggang waktu tiga hari sejak berakhirnya kekhalifahan sebelumnya. Para pemuka sahabat tidak menyibukkan diri dengan proses pemakaman jenazah Rasul , tetapi mereka pergi menuju saqifah bani saidah hingga terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah dalam tenggang waktu tiga hari telah sempurna.
 penerapan adzan ke 3 (adzan pertama sebagai panggilan salat Jum’at, adzan kedua setelah Khatib mengucapkan salam sebagai pemberitahuan khuthbah akan segera dimulai, ketiga adalah qomat sebagai peberitahuan bahwa sholat segera didirikan) pada hari Jum’at yang diawali pada zaman khalifah Utsman bin Affan.
 Salat Tarawih dilakukan sesudah salat ‘Isya sampai waktu fajar. Bilangan rakaatnya yang pernah dilakukan oleh Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah delapan rakaat. Umar bin Khaththab mengerjakannya sampai dua puluh rakaat. Amalan Umar bin Khaththab ini disepakati oleh Ijma’.

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com